facebook,
Beberapa hari yang lalu, sempat beredar printscreen dari path seseorang yang mengeluh. Orang mengeluh sebenarnya biasa ya, namun ketika kalimat mengeluh yang keluar terlalu kasar sampai menyinggung, bisa lain ceritanya. Path sebenarnya salah satu media social yang 'agak' tertutup, mengingat hanya bisa bertemankan dengan 150 orang. Seharusnya hal yang seperti ini tidak harus sampai tersebar luas, namun sepertinya beliau salah pilih orang untuk masuk dalam lingkaran path-nya.
Saya tidak akan membahas isi dari keluhan tersebut, sudah banyak rasanya yang membahas. Intinya hanya satu, jangan berkoar-koar di media sosial manapun saat sedang dipuncak emosi. Kita cenderung kurang mem-filter apa yang kita tulis, mulai dari mengumpat dan kata-kata kasar lainnya. Kalau bisa pun, jangan semua-semua yang kamu rasakan harus ditulis di media sosial, jangan tinggalkan jejak yang akan merugikan diri sendiri di dunia maya.
Media sosial sepertinya mudah untuk menggiring opini, terbukti begitu printscreen dari umpatan tadi tersebar langsung berujung pada pem-bully-an masal. Semua orang langsung merasa paling benar, dan mengirimkan doa (umpatan) agar beliau segera dibalas. Namun adakah yang pernah berpikir, apa yang sebenarnya terjadi sampai beliau mengumpat sebegitu kasarnya? Adakah yang sempat terbesit, bagaimana bisa si temannya tadi tidak mengingatkan beliau, malah tega membuatnya di-bully oleh sekian banyak orang?
Selesai dari kasus printscreen tadi, besoknya ada dua orang yang cukup terkenal di twitter berselisih pendapat, dan akhirnya ditutup dengan permintaan maaf dari masing-masing pihak. Namun lagi-lagi, sebagian orang memang suka 'merasa benar' bahkan ada yang sengaja mengajak pengikutnya (tanpa sengaja) untuk mem-bully salah satu pihak. Saya tidak tertarik untuk mengikuti lebih lanjut tentang apa yang terjadi, dan tidak berminat untuk berkomentar. Hanya saja, sebegitu mudahnyakah kita menghakimi seseorang tanpa melihat pokok permasalahan yang sesungguhnya?
Media sosial seharusnya untuk share moment yang menyenangkan, serta informasi yang berguna untuk kita. Tapi lagi-lagi tergantung dari masing-masing individu penggunanya. Ketika twitter dan facebook isinya terlalu banyak yang aneh-aneh kayak tadi langsung saya tutup sih, demi kesehatan jiwa. :)) Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat kita, ada baiknya kita renungkan dulu sebelum kita pencet tombol kirim di akun media sosial kita.
Seperti yang om Nukman tulis di sini, berhentilah menjadi malaikat digital yang gemar menuliskan apa saja di dunia digital, jadilah manusia.
Jadi kangen nulis diary! Nulis ya, bukan ngetik. :)
Memanusiakan Diri Sendiri
Perkembangan social media saat ini begitu pesat, hampir semua orang memiliki akun Facebook, Instagram, Path, Twitter, dll dsb dkk. Tapi semakin banyak akun yang dimiliki, beberapa orang pun lupa dengan yang namanya privacy. Kita sering terlena, bahwa ada hal-hal yang seharusnya disimpan sendiri dan ada yang bisa dibagikan di dunia maya.Beberapa hari yang lalu, sempat beredar printscreen dari path seseorang yang mengeluh. Orang mengeluh sebenarnya biasa ya, namun ketika kalimat mengeluh yang keluar terlalu kasar sampai menyinggung, bisa lain ceritanya. Path sebenarnya salah satu media social yang 'agak' tertutup, mengingat hanya bisa bertemankan dengan 150 orang. Seharusnya hal yang seperti ini tidak harus sampai tersebar luas, namun sepertinya beliau salah pilih orang untuk masuk dalam lingkaran path-nya.
Saya tidak akan membahas isi dari keluhan tersebut, sudah banyak rasanya yang membahas. Intinya hanya satu, jangan berkoar-koar di media sosial manapun saat sedang dipuncak emosi. Kita cenderung kurang mem-filter apa yang kita tulis, mulai dari mengumpat dan kata-kata kasar lainnya. Kalau bisa pun, jangan semua-semua yang kamu rasakan harus ditulis di media sosial, jangan tinggalkan jejak yang akan merugikan diri sendiri di dunia maya.
Media sosial sepertinya mudah untuk menggiring opini, terbukti begitu printscreen dari umpatan tadi tersebar langsung berujung pada pem-bully-an masal. Semua orang langsung merasa paling benar, dan mengirimkan doa (umpatan) agar beliau segera dibalas. Namun adakah yang pernah berpikir, apa yang sebenarnya terjadi sampai beliau mengumpat sebegitu kasarnya? Adakah yang sempat terbesit, bagaimana bisa si temannya tadi tidak mengingatkan beliau, malah tega membuatnya di-bully oleh sekian banyak orang?
Selesai dari kasus printscreen tadi, besoknya ada dua orang yang cukup terkenal di twitter berselisih pendapat, dan akhirnya ditutup dengan permintaan maaf dari masing-masing pihak. Namun lagi-lagi, sebagian orang memang suka 'merasa benar' bahkan ada yang sengaja mengajak pengikutnya (tanpa sengaja) untuk mem-bully salah satu pihak. Saya tidak tertarik untuk mengikuti lebih lanjut tentang apa yang terjadi, dan tidak berminat untuk berkomentar. Hanya saja, sebegitu mudahnyakah kita menghakimi seseorang tanpa melihat pokok permasalahan yang sesungguhnya?
Media sosial seharusnya untuk share moment yang menyenangkan, serta informasi yang berguna untuk kita. Tapi lagi-lagi tergantung dari masing-masing individu penggunanya. Ketika twitter dan facebook isinya terlalu banyak yang aneh-aneh kayak tadi langsung saya tutup sih, demi kesehatan jiwa. :)) Ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan pendapat kita, ada baiknya kita renungkan dulu sebelum kita pencet tombol kirim di akun media sosial kita.
Seperti yang om Nukman tulis di sini, berhentilah menjadi malaikat digital yang gemar menuliskan apa saja di dunia digital, jadilah manusia.
Jadi kangen nulis diary! Nulis ya, bukan ngetik. :)
Hello, setuju sekali dengan tulisan ini. Path saya juga terbengkalai karena tidak ada yang bisa dicurhatin di sana :D
ReplyDeletePunya agenda? Saya sering corat coret di agenda termasuk omel2an :D
@Sandy wah masih make agenda ya? Ada sih notes gt..buat coret-coret doang biasanya :))
ReplyDeleteDi tempat saya semua orang pake Agenda. Tapi sekarang pada pake hape nya sih buat mencatat jadwal. Notes juga oke tuh buat coret2 :)
ReplyDeleteYap. Saat ini cuma blog tempat aku curhat Mbak, itupun banyak kali mikirnya. Mana yang mau dipublish, mana yang sekedar di draft aja. Bahkan banyak juga yang aku hapus karena isinya terlalu mengerikan.. :)
ReplyDeleteAku uda lama nih ngga nulis. Kaku-kaku gimanaaa gitu pas nulis lagi :p
@Sandy oh wow, ini agenda malah nyisa-nyisa saking jarang yg nulis pakai agenda
ReplyDelete@beby nulis curhatnya di draft dulu juga ya? Trus di preview berkali-kali baru di publish. Eh ini aku sih ._.
aku paling nulis di blog aja :)
ReplyDeleteSekarang ini saya juga kalo curhat juga di draft :) Tapi dulu pas awal2 bikin blog curhatan juga sering saya publish.
ReplyDeleteIya nulis di blog juga kadang, tapi pas lagi udah adem otaknya, jadi (semoga) bahasanya pun ga menyinggunh orang lain.
ReplyDeletemau nulis dan dipublikasikan dimana saja tidak masalah namanya juga ingin berkarya, asal ceritanya jangan prifasi (aib) diri sendiri :)
ReplyDeleteterimakasih artikelnya
Iya ya kasusnya heboh... (~.~;)
ReplyDeletememang di socmed itu kudu jaga image banget... skali salah meski udah delete ada aja yg screen shot nya dapet... :|
setujuuuuu.....
ReplyDeletecurhat di blog kudu pilih2 tema, yg penting bijaksana dalam mengetikkan kata2 aja..
berkunjung dihari jumat yang cerah ini, salam persahabatan
ReplyDeleteNulis diary itu ada problemnya. Males nyimpennya, soalnya ngabis-ngabisin space di lemari. Tapi kalo dibuang ke tempat sampah kan sayang.. :D
ReplyDeleteSekarang semua orang pingin eksis, entah itu dengan cara benar atau salah yg penting eksis banyak yg liat. Zaman dah berubah .... Ah amin conglak atau lompat tali kayak nya seru #kaburrr
ReplyDeletenyimak ajah saya mba ,,
ReplyDeletesetubuh eh setuju
ReplyDeletegak usah menjadi malaikat untuk diri sendiri....
biasa curhat di diare yah mbak
entah mengapa aku suka banget sama tulisan mbak :D
@cumilebay *kejer*
ReplyDelete@ahmad diare sm diari beda ya (--")$
ikut nyimak ya :)
ReplyDeletesepertinya begitu penting